Dalih Perusahaan AI Terkait Hak Cipta: dari “Fair Use” hingga Persaingan dengan China

Tren produksi gambar anime ala Studio Ghibli dengan platform ChatGPT memunculkan kembali perdebatan mengenai teknologi kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) dan hak cipta. Sejumlah pihak menyambut antusias kemampuan image generation terbaru yang diperkenalkan OpenAI itu, tetapi berbagai pihak lain menilai praktik tersebut merupakan pelanggaran terhadap aturan hak cipta.
Jauh sebelum kontroversi terkait Studio Ghibli ini muncul, perusahaan AI telah berhadap-hadapan dengan pihak lain yang memproduksi konten dengan hak cipta. Perusahaan media ternama asal Amerika Serikat, The New York Times, misalnya, menggugat OpenAI pada Desember 2023 melalui Pengadilan Distrik Federal di Manhattan, New York.
Seperti dilaporkan Kompas.id, New York Times menuduh OpenAI telah menyalin dan menyalahgunakan karya jurnalistik yang diproduksi media tersebut. OpenAI dituduh mengumpulkan materi jurnalistik yang dibuat oleh para wartawan New York Times, menyalinnya kata demi kata, lalu menggunakannya untuk melatih model AI yang dikembangkan perusahaan itu.
Pada Mei 2024, empat seniman visual di AS menggugat Google karena perusahaan internet itu dituduh menggunakan karya mereka untuk melatih model AI bernama Imagen yang bisa memproduksi gambar. Empat seniman itu terdiri dari seorang fotografer serta tiga kartunis dan ilustrator.
Salah seorang di antaranya, yakni Sarah Andersen, adalah sosok yang tidak asing dalam hal gugatan hak cipta terkait AI. Andersen ikut serta dalam salah satu gugatan pertama terkait penggunaan konten dengan hak cipta untuk pengembangan AI. Pada Januari 2023, dia dan dua seniman lain menggugat Stability AI, Midjourney, dan DeviantArt karena tiga perusahaan itu dinilai telah menggunakan karya para seniman untuk melatih model AI mereka.
Namun, berbagai gugatan tersebut tampaknya tak menghentikan sejumlah perusahaan AI mengumpulkan berbagai data di internet, termasuk yang memiliki hak cipta, untuk melatih model AI mereka. Tren pembuatan gambar ala Studio Ghibli yang marak di media sosial beberapa hari terakhir kian mengukuhkan dugaan tersebut.
Sejumlah pihak mempertanyakan, bagaimana mungkin GPT-4o—salah satu model AI yang dikembangkan OpenAI—bisa menghasilkan gambar dengan gaya Studio Ghibli jika OpenAI tak pernah menggunakan material dari film produksi studio asal Jepang itu untuk melatih model AI tersebut?
Doktrin “Fair Use”
Meski begitu, rentetan kritik yang muncul sesudah tren gambar dengan gaya Studio Ghibli itu sepertinya tak akan membuat perusahaan AI menghentikan praktik pengumpulan data yang mereka lakukan. Sejumlah perusahaan AI pun tampaknya berupaya secara aktif agar aturan hak cipta tidak menghambat proses pengembangan model AI yang mereka lakukan.
Upaya itu antara lain terlihat dari masukan yang diberikan OpenAI dan Google kepada Office of Science and Technology Policy (OSTP) atau Kantor Kebijakan Sains dan Teknologi AS terkait AI Action Plan atau Rencana Aksi AI yang sedang disusun pemerintah AS.
Dalam proposal yang dikirim ke OSTP pada 13 Maret 2025, OpenAI menyinggung soal doktrin fair use yang ada dalam hukum hak cipta AS. Aturan ini memungkinkan suatu pihak menggunakan karya yang dilindungi hak cipta dengan syarat-syarat tertentu tanpa seizin pemegang hak cipta. Salah satu syarat menurut doktrin fair use adalah penggunaan karya dengan hak cipta itu harus bersifat transformasional atau mengubah karya menjadi sesuatu yang baru.
OpenAI mengklaim, model-model AI yang dikembangkan perusahaan itu dilatih untuk tidak meniru suatu karya secara langsung. Model-model tersebut, kata OpenAI, dilatih untuk mempelajari berbagai karya itu lalu mengekstrak pola, struktur linguistik, dan wawasan kontekstual.
Oleh karena itu, saat pengguna memasukkan suatu perintah yang berkait dengan karya tersebut, model AI dari OpenAI akan membuat sesuatu yang berbeda meskipun bisa saja menggunakan elemen-elemen dari karya dimaksud. Dengan begitu, OpenAI mengklaim, pelatihan model AI yang mereka lakukan sudah sesuai dengan doktrin fair use dalam hukum AS.
Selain itu, perusahaan tersebut mengklaim, proses melatih model AI dengan suatu karya tidak akan mengurangi nilai komersial dari karya asli—sesuatu yang juga disyaratkan dalam doktrin fair use.
Dalam pernyataan itu, OpenAI menyebut, praktik berdasarkan doktrin fair use ini menjadi landasan bagi keberhasilan AS untuk mencapai kemajuan teknologi sebelumnya dan kini kian penting untuk mempertahankan kepemimpinan AS di bidang AI, terutama setelah pengembangan AI di China.
Sementara itu, dalam masukan yang diberikan Google pada OSTP disebutkan, aturan hak cipta yang seimbang seperti fair use sangat penting agar AI bisa belajar dari pengetahuan sebelumnya dan data yang tersedia untuk umum. Google juga menyebut aturan itu memungkinkan penggunaan materi berhak cipta yang tersedia umum untuk pelatihan AI tanpa secara signifikan merugikan pemilik hak.
Selain itu, Google menyatakan perlunya menghindari negosiasi yang sering kali tidak dapat diprediksi, tidak seimbang, dan memakan waktu lama dengan pemilik data selama pengembangan model AI. Secara khusus, Google menilai perlunya aturan hak cipta yang seimbang untuk menjamin akses terhadap paper ilmiah yang tersedia untuk umum karena hal itu penting untuk mempercepat pengembangan AI dalam bidang sains.
Dokumen dari OpenAI dan Google itu menunjukkan, perusahaan AI tampaknya masih tetap ingin menggunakan konten yang memiliki hak cipta untuk melatih model AI tanpa harus mengantongi izin dari pemilik dan membayar royalti. Praktik semacam itu ingin dibenarkan dengan doktrin fair use dan alasan untuk menjaga kepemimpinan AS dalam bidang AI. Persaingan AI dengan China pun turut menjadi pembenar praktik semacam itu.
Namun, untuk menciptakan situasi yang lebih adil dalam pengembangan AI, praktik tersebut tentu mesti dipertanyakan. Kehadiran AI memang tak terhindarkan, tetapi penting untuk menjaga agar pengembangan teknologi itu tetap dilakukan secara adil dan bertanggung jawab. Jika kehadiran AI justru merugikan banyak orang, bukankah itu kontraproduktif dengan tujuan pengembangan teknologi tersebut?