Menulis Tanpa (dan dengan) Distraksi

Dibuat dengan GPT-5
Bertahun-tahun lalu, saat masih menjadi calon wartawan, saya ditugaskan meliput di Stasiun Pasar Senen, Jakarta, untuk mengecek apakah masih ada calo tiket kereta api yang berkeliaran di sana. Saat itu dua hari sebelum Natal sehingga stasiun tersebut sedang sangat ramai.
Saya lalu nongkrong di dekat pintu masuk Stasiun Pasar Senen. Sebagian besar tiket kereta api jarak jauh waktu itu sudah habis, tetapi penumpang yang ingin bepergian masih banyak. Para calo pun memanfaatkan situasi tersebut. Mereka mendekati penumpang-penumpang yang tampak kebingungan, lalu menawarkan tiket dengan harga yang jauh lebih mahal.
Berpura-pura sebagai penumpang, saya lalu menanyakan berapa harga tiket yang dijual para calo itu. Ternyata harga yang mereka tawarkan bisa lebih mahal tiga kali lipat dibandingkan harga resmi. Saya lalu bertanya apakah penumpang yang membeli tiket dari para calo bakal lolos pemeriksaan petugas karena nama yang tertera di tiket berbeda dengan nama di KTP penumpang.
Seorang calo meyakinkan bahwa penumpang bisa lolos dengan tiket beda nama tersebut. ”Enggak apa-apa nama di tiket beda dengan nama di KTP, nanti ada yang mengantar. Tadi siang saya mengantar rombongan 13 orang dan lolos,” kata seorang calo. (Kalimat ini saya kutip dari arsip berita yang saya tulis).
Namun, sesumbar calo itu tidak terbukti. Waktu itu, saya melihat dua orang penumpang yang membeli tiket dari calo itu ternyata tidak diantar masuk peron. Si calo hanya membelikan tiket KRL Jabodetabek, lalu menyuruh calon penumpang masuk ke areal keberangkatan KRL. Dari sana, mereka harus menerebos ke area keberangkatan kereta api jarak jauh yang terletak di peron berbeda.
Sesudah melakukan reportase peristiwa itu dan mewawancarai pihak stasiun, saya segera mencari tempat mengetik berita. Karena buru-buru dan tak punya banyak pilihan, saya akhirnya mengetik di emperan depan stasiun. Saya duduk di lantai, lalu mengetik berita dengan Blackberry yang waktu itu masih populer di Indonesia.
Tempat itu tentu saja tidak nyaman untuk menulis karena ramai dengan lalu-lalang para penumpang yang keluar-masuk stasiun. Kondisinya juga berisik karena penuh dengan bising suara kendaraan bermotor sekaligus kereta api. Namun, saya tak punya banyak pilihan karena berita harus segera dikirim. Toh akhirnya berita itu selesai juga dan dimuat di koran keesokan harinya.
Tak punya kemewahan
Sebagai wartawan, terkadang kami memang tak punya kemewahan untuk menulis dengan tenang. Selama belasan tahun bekerja sebagai jurnalis, saya telah meliput berbagai macam peristiwa, termasuk kejadian bencana dengan medan yang sulit. Di tengah situasi seperti itu, mustahil menemukan tempat untuk menulis dengan tenang dan nyaman. Bisa mendapat sinyal internet untuk mengirim berita pun sudah untung.
Di tengah sirkulasi informasi yang kian cepat seperti sekarang, wartawan juga dituntut untuk menulis berita sesegera mungkin. Itulah kenapa, sebagian besar wartawan sekarang—terutama yang bekerja di media daring—memilih menulis berita dengan handphone. Sudah jarang wartawan media online yang membawa laptop untuk mengetik.
Dengan handphone, wartawan bisa menulis di mana saja dengan cepat. Di sela-sela liputan di lapangan, saya sering melihat kawan-kawan saya sesama jurnalis tiba-tiba duduk atau jongkok di pinggir jalan, lalu jemari mereka menari lincah mengetik berita di layar sentuh smartphone. Bahkan, bukan sekali dua saya lihat kawan wartawan mengetik berita dengan handphone saat membonceng di sepeda motor.
Saat meliput aksi unjuk rasa yang berujung kericuhan pada akhir Agustus lalu, para wartawan menghadapi situasi lebih ekstrem. Mereka harus tetap menulis berita di tengah bentrokan antara massa dan petugas. Di tengah gas air mata yang membuat mata perih, mereka pun tetap melaporkan peristiwa yang terjadi.
Freewriting
Oleh karena itu, konsep menulis tanpa distraksi sebenarnya agak asing buat saya. Namun, beberapa waktu lalu, saat menemukan sejumlah aplikasi yang menawarkan pengalaman menulis tanpa distraksi, saya merasa tertarik untuk mencoba. Aplikasi semacam itu sebenarnya sudah lama ada, tetapi saya baru benar-benar mengetahuinya beberapa pekan lalu.
Sejumlah aplikasi itu, seperti Freewrite dan Lumowrite, ditujukan untuk aktivitas freewriting atau aktivitas menulis secara bebas. Freewriting biasanya berupa aktivitas menulis secara terus-menerus dalam waktu tertentu, tanpa mempedulikan ejaan, tata bahasa, logika kalimat, dan sebagainya.
Setelah menjajal sejumlah aplikasi itu, saya memutuskan mencoba mengembangkan aplikasi serupa, tetapi disesuaikan dengan kebutuhan saya. Proses ini tentu menggunakan teknik vibe coding karena saya tak punya pengetahuan memadai terkait koding.
Dari proses itu, lahirlah aplikasi bernama Tulis. Selama beberapa waktu terakhir, saya mulai menggunakan aplikasi tersebut untuk menulis beragam tulisan, mulai dari laporan jurnalistik, tulisan untuk newsletter, hingga postingan di blog.
Teman-teman yang mau mencoba Tulis, silakan klik tautan ini. Soal fitur-fitur yang ada di aplikasi ini, bisa dibaca juga di tulisan saya di Substack beberapa waktu lalu.